Minggu, 16 Agustus 2015

kesenian-kesenian madura








  • ul-daul


Ul-daul, pada prinsipnya sebagai musik perkusi yang tidak banyak membutuhkan pengalaman musik dalam memainkannya. Fenomena Ul-daul sebenarnya merupakan pengembangan musik Tong-tong, yang sejak awal menjadi musik yang berciri khas Madura yang dimainkan dengan pukulan monoton namun melahirkan irama dinamng didapat disekitar masyarakat yang semuanya terbuat dari bambu. Ada beberapa jenis ukuran yang terbuat dari potongan bambu dari mulai ukuran besar panjang sekitar setengah sampai satu meter dengan diameter 40 – 50 cm, yang akan melahirnya bunyi besar. Sedangkan ukuran berikutnya, makin mengecil sesuai dengan kebutuhan irama. Ketika ditabuh (dipukul dengan potongan kayu), masing-masing penabuh memiliki pukul statis/monoton, namun keberagaman jenis dan ukuran yang beda akhirnya menjadi irama harmonis dan indah.
Musik Tong-tong, (kerap disebu untuk wilayah Kabupaten Sumenep, pernah dikembangkan menjadi musik “Ghursah”, yaitu musik ini dikembangkan sebagai bentuk pengiring lagu-lagu, yang umumnya lagu-lagu Madura oleh penyanyinya, dengan tetap mepertahankan musik perkusi. Namun dalam musik Ghursah dibengkan dengan alat-alat musik lebih besar, bukan saja terbuat dari bambu, tapi juga terbuat dari balok kayu. Tong-tong atau ghursah kerap disebut, dhung-dhung, bung-bung, dan sebutan lainnya.
Musik Ghursah ini, spesifikasinya ditampilkan dalam penampilan terbuka sebagai tontonan umum. Bahkan untuk acara hajat perkawinan, maupun acara-acara penyambutan tamu; tamu kunjungan maupun tamu wisata. Tapi disayangkan, musik Ghursah ini hilang begitu saja.
Ul-daul, Pengembang Musik Tong-tong. Sebagaimana musik Tong-tong, Ul-daulpun awal pengembangannya diperagakan sebagai musik patrol sahur, namun dalam perkembangannya musik Tong-tong kurang diminati, lantaran – barangkali – alat-alat musik lain mulai dipegunakan para patroli sahur. Bahkan bukan alat-alat musik yang mulai terjadi perubahan, alat suara (sound system) jauh lebuih praktis dan nyaring dimanfaatkan kelompok patrol ini berkeling kampung. Dari sinilah tradisi patrol sahur dalam bulan Ramadlan semakin langka.
Entah bagaimana awalnya, tampaknya ada kesepakatan tidak tertulis dari pelaku patrol sahur. Barangkali mereka (patroli sahur) termotivasi fenomena musik di Indonesia, sehingga musik Tong-tong dikembangkan lagi menjadi lebih proporsional. Alat-alat musik tidak ada bedanya dengan alat musik sebelumnya, namun disini dilengkapi intrumen baru, meski sangat sederhana. Contoh misal, untuk melahirkan irama melodi mereka gunakan alat musik gamelan peking, atau untuk tambur, mereka galon minuman mineral untuk melahirkan bunyi bas, dan lainnya.
Sama dengan Ul-daul, alat musik yang digunakan tentu lebih besar dan lebih lengkap. Pembentuk irama misal beberapa alat musik peking, kenong, kendang serta alat wajibnya yaitu tong-tong, dung-dung, dug-dug, bung-bung dan sejenisnya mencipkan suara lebih dinamis dan menggetatkan. Apabila ditambah sound system yang memekakkan terima. Wahh, gemuruh rasanya.
                                                                               








  • karapan sapi



Awal mula kerapan sapi dilatar belakangi oleh tanah Madura yang kurang subur untuk lahan pertanian, sebagai gantinya orang-orang Madura mengalihkan matapencahariannya sebagai nelayan untuk daerah pesisir dan beternak sapi yang sekaligus digunakan untuk bertani khususnya dalam membajak sawah atau ladang.
Suatu Ketika seorang ulama sumenep  bernama Syeh Ahmad Baidawi (Pangeran Katandur) yang memperkenalkan cara bercocok tanam dengan menggunakan sepasang bambu yang dikenal dengan masyarakat madura dengan sebutan "nanggala" atau "salaga" yang ditarik dengan dua ekor sapi. Maksud awal diadakannya Karapan Sapi adalah untuk memperoleh sapi-sapi yang kuat untuk membajak sawah. Orang Madura memelihara sapi dan menggarapnya di sawah-sawah mereka sesegera mungkin. Gagasan ini kemudian menimbulkan adanya tradisi karapan sapi. Karapan sapi segera menjadi kegiatan rutin setiap tahunnya khususnya setelah menjelang musim panen habis. Karapan Sapi didahului dengan mengarak pasangan-pasangan sapi mengelilingi arena pacuan dengan diiringi musik saronen.




  • sape sono'

Sape sonok berasal dari bahasa Madura yang berarti sapi yang mengangkat kakinya dan memasukkannya ke atas papan yang telah disediakan. Dalam konteks ini, sepasang sapi betina didandani bagaikan ratu kecantikan.
Tanduknya dipolesi warna-warni, bulunya disemir dan dirapikan dengan berbagai model, lehernya dikalungi perhiasan, perut dan kepalanya dipenuhi dengan hiasan, kakinya pun memiliki ‘sepatu’ khusus yang dibuat dari bahan khusus pula.
Lumrahnya, sape sonok ini diiringi dengan musik tradisional Madura, Saronen. Kedua sapi yang berlomba akan berlenggak-lenggok indah ketika berjalan. Tentu saja lenggak-lenggok itu ala para sapi.
Sebagai budaya yang mulai menjamur di masyarakat, kehadiran sape sonok patut diapresiasi secara positif oleh seluruh elemen masyarakat Madura tanpa terkecuali sehingga budaya itu dapat terjaga dan terlestarikan.
Sape sono’ khusus bagi pasangan sapi betina yang diadu kecerdasannya melewati beberapa rintangan yang sudah ditentukan kriterianya. Itu sebabnya pemilik sape sono’ harus memperhatikan pertumbuhan badan sapi sehingga akan memenuhi semua criteria penilaian, misalnya cara jalan dan sebagainya. Dulu, sape sono’ digelar sebelum acara kerapan sapi dimulai, namanya sapi pajangan. Sekarang, karena perubahan zaman berubah nama menjadi sape sana.
Bagi masyarakat  Sumenep, sape sono’ juga bisa meningkatkan tarap hidup masyarakat menjadi baik. Sebab, kalau sape sana’ dipelihara sejak kecil, misalnya, dibeli dengan harga Rp 5 juta untuk satu pasang, setelah dipelihara 1-2 bulan harganya bisa mencapai Rp 15-20 juta.
Semakin tahun penggemar sape sana’ semakin banyak. Sebaliknya, harga tembakau agak merosot sehingga banyak yang lari memelihara sape sana’. Sebab, kalau pasangan sape sana’ pernah memenangkan lomba harganya bisa mencapai Rp 75-90 juta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar